0
29 Agustus 2014
Indonesia: Akhiri serangan-serangan terhadap kebebasan berekspresi di Papua

Pihak berwenang Indonesia harus mengakhiri serangan-serangan terhadap kebebasan berekspresi di wilayah Papua, menurut Amnesty International. Serangan-serangan belakangan ini menjadi gambaran dari lingkungan represif yang dihadapi oleh para aktivis politik dan jurnalis di daerah tersebut dan impunitas yang terus berlanjut bagi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pasukan keamanan di sana. 

Pada 26 Agustus 2014, aktivis politik Martinus Yohame ditemukan tewas di dalam karung, mengapung di dekat Pulau Nana di Sorong, Provinsi Papua Barat, dengan luka-luka seperti yang dilaporkan, termasuk luka tembak di dadanya. Martinus, ketua KNPB (Komite Nasional Papua Barat) Sorong, sebuah gerakan pro-kemerdekaan di Papua, sebelumnya hilang pada 20 Agustus. 

Hilangnya Martinus terjadi pada saat yang sama seorang aktivis politik lainnya ditahan secara semena-mena menjelang rencana kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Provinsi Papua Barat untuk acara “Sail Raja Ampat” pada 23 Agustus. KNPB telah melaporkan rencana untuk menggelar protes di Sorong sekitar kunjungan Presiden dan akan menaikan bendera pro-kemerdekaan Papua “Bintang Kejora”. 

Pada kasus lainnya di provinsi yang sama, pada 8 Agustus polisi menangkap dan diduga melakukan penyiksaan atau penganiayaan terhadap dua pelajar di kabupaten Manokwari karena membuat grafiti pro-kemerdekaan, termasuk menyerukan sebuah referendum independen bagi Papua. Keduanya, Robert Yelemaken, pelajar sekolah menengah atas berusia 16 tahun, dan Oni Wea, seorang mahasiswa perguruan tinggi berusia 21 tahun, juga merupakan aktivis-aktivis KNPB. Mereka dipukul di kepala dan wajah dengan popor senjata, dan ditendang oleh polisi. Keduanya dipaksa berguling di genangan air kotor dan meminum cat. Mereka kemudian dibawa ke Kantor Polres Manokwari di mana pemukulan tersebut diduga terus dilakukan.

Robert Yelemaken telah dibebaskan sejak saat itu, tetapi Oni Wea masih menghadapi tuduhan “penghasutan” di bawah Pasal 160 KUHP.

Dua jurnalis Prancis ditangkap oleh polisi pada 6 Agustus di Wamena, Provinsi Papua, masih di tahanan karena pelanggaran imigrasi. Thomas Dandois dan Valentine Bourrat dilaporkan membuat film dokumenter tentang gerakan separatis di wilayah Papua. Penangkapan mereka menyoroti pembatasan yang terus berlaku, yang dihadapi oleh jurnalis, organisasi HAM, dan organisasi pengawas internasional lainnya untuk mengakses Provinsi Papua dan Papua Barat. 

Areki Wanimbo, ketua Dewan Adat Lani Besar, yang telah menemui kedua jurnalis, juga ditangkap oleh polisi pada hari yang sama dan dituduh mendukung aktivitas-aktivitas separatis. Sejak saat itu Areki dituduh melakukan “makar” di bawah Pasal 106 dan 110 dari KUHP (kejahatan terhadap keamanan negara). Pasal-pasal ini telah digunakan secara semena-mena untuk memenjarakan puluhan orang di Papua karena aktivitas politik damai mereka, beberapa hingga 20 tahun.

Amnesty International juga telah lama menyerukan akses yang bebas dan tanpa hambatan ke wilayah Papua bagi jurnalis dan organisasi HAM internasional, dan menyambut baik janji Presiden terpilih Joko Widodo pada Juni 2014 bahwa ia akan membuka akses terhadap wilayah tersebut jika terpilih.
Hak atas kebebasan berekspresi, beropini, dan berkumpul secara damai dijamin oleh Konstitusi Indonesia dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, di mana Indonesia merupakan Negara Pihaknya. 

Amnesty International juga menyerukan pihak berwenang Indonesia untuk mencabut atau paling tidak mengamandemen produk-produk hukum yang membatasi hak atas kebebasan berekspresi, termasuk Pasal 106 dan 110 KUHP, agar mematuhi hukum dan standar-standar HAM internasional.
Amnesty International tidak mengambil posisi apapun terkait status politik dari provinsi mana pun di Indonesia, termasuk menyerukan kemerdekaan. Namun demikian, organisasi kami percaya bahwa hak atas kebebasan berekspresi juga mencakup hak untuk mengadvokasi secara damai referendum, kemerdekaan, atau solusi politik lainnya. 

Serangan-serangan terhadap kebebasan berekspresi harus berakhir, dan semua tahanan nurani (prisoners of conscience) – seperti mahasiswa perguruan tinggi Oni Wea, yang ditahan semata-mata karena secara damai menjalankan hak-hak mereka atas kebebasan berekspresi – harus segera dan tanpa syarat dibebaskan. 

Lebih lanjut, pihak berwenang harus melakukan investigasi yang cepat, menyeluruh, kompeten, dan imparsial terhadap pembunuhan Martinus Yohame dan semua tuduhan akan penyiksaan dan penganiayaan. Pelaku dari kejahatan-kejahatan semacam ini harus dibawa ke muka hukum di persidangan yang adil tanpa menggunakan hukuman mati, dan para korban dan keluarga mereka harus diberikan reparasi.

Post a Comment

 
Top