Foto : Novela Nawipa di MK JakartaTeratai Paniai, Politik perempuan asal Paniai Novela Nawipa terkait pilpres 2014 di Indonesia di beri pujian dari Oktovianus Mote diplomat luar Negeri untuk Papua Merdeka di Amerika Serikat. Pujian dan tanggapan ini di upload dinding facebok resminya (15,Agustus 2014), waktu Amerika Serikat.
Ini pujian untuk : Novela Nawipa: You are amazing dan nilai moral dan pemihakkan politik
bangsa Papua.
Seorang teman memberi informasi
bahwa Novela Nawipa, seorang perempuan Mee menjadi pembicaraan seantero orang
Indonesia. Luar biasa karena dia menjadi buah bibir lebih dari 250 juta manusia
di muka bumi ini. Tentu saja menarik dan sayapun kemudian membaca sejumlah
komentar mencaci maki dan yang memuji.
Saya meminta adik Oktovianus Pogau untuk teruskan
gambarnya di TV agar saya bisa tonton. Saya membaca dua tulisan elok dan
obyektive dari adik Oktovianus Pogau dan Made Supriatma (di wall
facebook mereka) yang menyoroti dari sudut yang berbeda. Saya di bantu oleh
sejumlah media Indonesia yang menggambarkan siapa Novela Nawipa yang tiba-tiba
menjadi bintang dan membuat banyak orang Papua bangga dan tidak sedikit yang
iri hati dan mencaci maki.
Otak saya sebelum menonton
rekaman tv adalah sudah bayangkan penampilan seorang perempuan gunung yang
digambarkan: tidak tahu adat, sopan santun dan tidak hargai hakim, memalukan
suku Mee dan orang Papua dan sebagainya. Tetapi semua itu musnah seketika.
Karena yang saya saksikan adalah penampilan seorang perempuan papua yang tampil
penuh percaya diri, stick to the point dan tidak terpancing pertanyaan Hakim
yang memutar kiri kanan. Jawabannya jelas laksana seorang lawyer yang cerdik
dan ia uraikan dalam tutur kata yang sungguh hidup, tidak kaku dan terperangkap
feodalisme beku. Tentu saja ada kekeliruan menyangkut jarak: dari 300 Km ...
tapi who care. karena di papua orang papua tidak terbiasa dengan main angka
dalam mengukur jarak. Penguasa kolonial Indonesia pun jarang sekali memasang
papan jarak di tanah papua dan orang papua terbiasa dengan menunjuk apa yang
ada yakni di balik gunung, dibalik sungai, dibalik pohon dan sebagainya sebagai
patok.
Banyak sekali orang Papua,
terutama mereka yang merasa diri dan terdidik dan tahu politik, tata krama
etika sopan santun termasuk perempuan papua yang mencaci maki Novela. Saya
tidak perduli dengan komentar kaum lelaki papua. Saya juga lebih tidak perduli
dengan ungkapan orang Indonesia entah itu yang bermukim di papua maupun dari
mereka yang lahir besar di tanah papua yang datang dan cari makan sejak 1 Mei
1963, saat Indonesia resmi menjajah Papua. Yang saya peduli dan karenanya
hendak memberikan catatan adalah komentar sesama perempuan papua terhadap
Novela.
Saya hendak mengajak pembaca
untuk menonton Beatrix Wanane,anggota KPU Propinsi Papua di youtube dengan
tulis namanya dan nonton yang full. Lihat penampilan dan jawaban dari perempuan
yang mengaku dirinya senior dan intelektua di Papua. Dia menuduh Novela, tidak
sopan, tidak jawab pertanyaan HAKIM dan sebagainya. Tetapi lihat apa yang dia
lakukan sendiri, dia tidak mampu jawab pertanyaan sederhana wartawan tentang
kampung yang menjadi sengketa. Soal tidak sopan, apakah karena Novela tidak
pakai kebaya milik penjajah sebagaimana yang ibu Beatrix gunakan? Ataukah
karena dia perempuan gunung sehingga Beatrix omong penuh emosi di depan 250
juta penduduk INdonesia melalui TV, katakan :.... siapa yang perbodoh .....
Saya bersyukur ada tv Indonesia yang memutar balik cuplikan gaya dan bahasa
novela dalam menjawab hakim dan memperlihatkan reaksi Beatrix menyaksikan
cuplikan itu. Jelas sekali di sana, justru beatrix yang penuh emosi dan omong
terus habiskan waktu dan tidak jawab pertanyaan wartawan. Padahal wartawan
Metro TV yang dikenal tv pendukung Jokowi sudah mengirim begitu sederhana
sesuai skenario kepentingan politik kubu jokowi pun Beatrix, sang intelektual
papua itu tidak mampu jawab. Dia lari kepada analisa dia bahwa tidak tahu nama
tete nya (padahal saya tidak dengar hakim tanya nama tete dan kalaupun dia
tanya itu tidak relevan) misalnya. Beatrix juga tidak mampu jelaskan apa yang
terjadi di kampung awabutu. Beatrix hanya berdalih sesuai laporan daerah....
Sekali lagi ukuran tahu adat yang Beatrix gunakan adalah sekedar apakah tahu
nama kepala kampung atau tokoh kampung termasuk yang beatrix karang sendiri
nama tetenya. Yang menarik beatrix wanane, perempuan papua intelektual senior
itu tidak tahu bahwa Novela punya hak untuk tidak menjawab pertanyaan yang dia
(novela) menilai tidak relevan.
Sementara Novela jawab
pertanyaan Hakim dengan santai dan tetap focus. DAn yang paling penting adalah
Novela jawab dengan wajah ceriah dan senyum. Karena focus maka dia tanya balik
hakim ketika dia merasa belum menjawab secara tuntas. GAya bertanya balik dari
Novela yang ditafsir berlebihan oleh orang yang tidak kenal orang Papua yang
otaknya masih bersih dan belum terkontaminasi budaya feodal dan penjajahan
Indonesia. Orang Papua yang irih hati dan pendukung Jokowi maupun orang Papua
yang asal bunyi pun komentari negative. Padahal novela hanya bilang:....
maksudnya? hanya kata itu yang dia ungkapkan. Gaya tanya jawab ini sungguh
menyegarkan suasana sidang dan itu bisa dilihat dari gelak tawa para hakim.
Kalau mereka merasa penting, mereka akan sambung kejar dengan pertanyaan lain.
DAn apapun jawabannya apapun yang keluar dari mulut novela adalah bahan dalam
pengambilan keputusan. Maka pertanyaan saya adalah dimana unsur marahnya dari
pertanyaan balik Novela tersebut? apakah karena intonasinya, ataukah karena
saat dia bertanya novela tidak menunduk atau lihat tempat lain (sebagaimana
dilakukan banyak orang Indonesia yang mewarisi budaya feodal) tidak menatap
mata hakim. Beatrix mempraktekkan apa yang Yesus katakan bahwa mampu lihat
sebuah jarum kecil di mata Novela namun ular besar yang keluar dari mulutnya
dalam menjawab pertanyaan wartawan tv itu bukan saja dia tidak lihat melainkan
dia mengalir deras laksana arus sungai mambramo dari mulutnya.
Komentar kedua yang hendak saya
pakai adalah yang di ungkap seorang aktivis perempuan papua yang nota bene dia
sendiri orang gunung dari wilayah selatan, suku Muyu. Dia tuli: Novela dan
Nowela, dua bintang dalam TV yang memalukan bangsa Papua. Ia menilai mereka
tampil bukan untuk membela papua tetapi menjadi mainan Prabowo. Saya menegur
dalam facebooknya agar dia hapus kata hinaan itu yakni "mainan" dari
komentar itu karena tidak pantas keluar dari seorang aktivis perempuan papua
yang saya ikut hormati selama ini. Dia minta maaf kepada saya bila saya
tersinggung dengan ungkapan itu. Saya jawab bukan maaf kepada saya tetapi
kepada dua perempuan papua yang dia sebutkan namun tidak hapus. penjelasan saya
kepadanya bahwa Novela dan Nowela adalah dua orang yang profesional dalam
bidangnya: satu penyanyi dan satu politisi sehingga mereka bukan mainan
Prabowo. Saya jelaskan kepadanya apa yang Novela lakukan adalah benar dan
secara profesional dia membela partai politik yang dia pimpin. Soal apa yang
dia sampaikan itu benar atau tidak bukan urusan siapa-siapa, itu hak hakim
dalam pengambilan keputusan atas kasus ini. Tetapi, perempuan aktivis papua
yang senior ini tetap tidak merubah posisinya bahwa dua anak perempuan papua yang
menjadi pembicaraan Indonesia karena kehebatan mereka. Di mata aktivis
perempuan papua ini adalah sekedar mainan prabowo.
Sekali lagi kalau yang katakan
itu seorang lelaki papua, saya tidak peduli karena banyak yang tidak tahu
hormati hak perempuan papua apalagi yang otaknya bodok dan kalah dari kaum
perempuan papua. Tetapi once again ini perempuan papua sendiri yang menghina
kaumnya, sesama perempua papua. Itulah sebanya dua contoh ini saya soroti
mewakili mereka yang bernada sama.
Kini catatan umum kepada bangsa
papua entah orang gunung atau pantai apapun pemihakkan politiknya.
Catatan pertama mengenai ukuran
moral. betapa memalukkan ukuran moralitas kebanyakan orang papua terdidik yang
sibuk dengan facebook. Mereka umumnya menuduh anak perempuan ini memalukan.
Ungkapan yang sama mereka tidak lakukan ketika seorang politisi hebat kedapatan
mencuri uang rakyat. Tidak ada kalimat apa-apa tatkalah bekas gubernur Barnabas Suebu, tokoh
papua hebat dan bekas gubernur dua periode di jadikan tersangka dalam kasus
korupsi miliaran rupiah. Hal demikian juga terjadi ketika banyak pejabat Bupati
dan pegawai tinggi lainnya yang di hukum karena ternyata pencuri. Orang Papua
merasa tidak malu ketika perilaku pencuri-pencuri ini dipakai sebagai fakta di
dalam Negara Republik Indonesia untuk mengukur :
(a) orang
Papua bukan saja tidak mampu tetapi
(b) pencuri
sehingga tidak bisa di percaya. Wahai kaum cerdik pandai yang merasa diri orang
papua dimana ukuran moralmu?
Catatan kedua adalah pemihakkan
politik. Orang papua dari mereka yang mengaku diri terdidik paling tidak tahu
pakai facebook adalah bahwa sangat rendah dalam nasionalisme akan bangsanya,
Papua. Mereka ini tanpa segan caci maki dan hina bangsanya sendiri dan tidak
sedikit yang tega benar jual sesama orang Papua hanya untuk membelah seorang
Kepala Negara yang menjajah bangsa Papua. Anehnya, tidak sedikit mereka yang
berkomentar minor kepada Novela Nawipa itu adalah menyebut diri mereka sebagai
pejuang kemerdekaan, aktivis papua merdeka. Mereka bukan saja caci maki Novela
bahkan rumahnya pun di hancurkan terlepas dari apakah itu di lakukan sesudah
atau sebelum novela muncul di depan sidang Mahkama Konstitusi. Pertanyaan saya
kepada anda adalah apakah dua calon kepala negara ini akan memberikan peluang
kepada bangsa papua untuk lakukan referendum? Saya hendak tunggu, apakah begitu
Jokowi jadi Presiden ada perubahan signifikant dalam hal hidup bangsa termasuk
mengakui hak bangsa papua untuk menentukan nasib sendiri sebagaimana dia akui
hak yang sama dari bangsa Palestina? Demikian juga apakah kalau Prabowo menang
situasi HAM berubah, koruptor di tangkapi dan militer pembantai nyawa manusia
papua di kurung sesudah diadili secara terbuka dan pecat mereka yang main kuasa
serta membuka papua dan memberikan kebebasan hidup kepada bangsa papua?
Refleksi ini saya tulis pada
saat saya meratapi nasib bangsa papua yang di jual dunia barat di bawah
pimpinan Amerika-Belanda melalui perjanjian new york yang di tanda tangani di markas
besar PBB, 15 Agustus 1962. Meratapi karena ternyata bukan hanya kapitalis
dunia saja yang tidak peduli dengan nasib bangsa Papua tetapi orang-orang papua
sendiri banyak yang tidak peduli sesamanya dan bangnsanya semata-mata karena
irih hati. Orang Papua hanya jago kandang, mampunya lawan bangsa sendiri dan
tidak mampu hadapi bersama musuh bersama.
Catatan ini saya tujukan kepada
kalian yang menuduh aneka suara negative terhadap Novela. Anda sama posisinya
dengan 5 atau 6 orang Papua yang mendapat penghargaan negara INdonesia karena
kesetiaannya kepada penjajah. Mereka ini:Nicolaus Youwe, Abraham Octovianus
Atururi, Frans Albert Yoku, Nick Messet, Konstan Karma, Lipidus Beneluk, akan
berpesta dan sukacita tatkalah rakyat papua merana, sedang menuju punah, dalam
kurang dari 6 tahun jumlah orang papua di tanahnya tidak akan akan lebih dari
30 persen. Mereka akan pesta di Istana Presiden Indonesia dan kalian cuma sibuk
di internet seakan tidak peduli dengan situasi di Timika, Pemimpin Bangsa dari
suku Dani di pancung lehernya dan kepalanya belum di temukan, dimana ada
rekayasa untuk mempertahankan daerah rawan dengan menciptakan konflik antara
warga: orang dani versus orang Kei-Flores, Bugis-Makasar yang sedang
berlangsung saat ini.
Demikian juga tidak ada gerakan
apa-apa dalam membela sejumlah aktivis yang di tahan di UNCEN hanya karena
suarakan aspirasi politik bangsa papua yang di pancung melalui perjanjian new
york yang dipakai oleh bangsa-bangsa pencuri yang hendak mengambil kekayaan
negeri kita. Tidak ada gerakan untuk menekan pemerintah Indonesia untuk
keluarkan dua wartawan asing asal perancis yang kini di tahan aparat keamanan
Indonesia, tatkalah mereka sekedar jalankan panggilan profesinya sebagai
wartawan, menulis apa yang terjadi di Papua. Dimanakah nyali ketika ada orang
lain rela berkorban untuk bangsa papua dan bangsa papua sibuk babat sesama
bangsa papua.
Connecticut, USA 15 Agustus 2014
Post a Comment