Gerakan Benny Wenda menjadikan tempat tinggalnya sebagai House of Free
West Papua di Oxford, awal Mei lalu, sontak menjadi perhatian publik
domestik Indonesia. Seolah pemerintah Inggris telah berpaling dari sikap
asli-nya pada Indonesia dengan memberi ruang kepada Benny Wenda.
Betulkah demikian?. Pada tahun 2014 pembukaan kantor Free West Papua
berbasis di Australia di bawah komando Negara Federal Papua Barat.
Pada sidang Komite HAM tentang hak-hak SIPOL, Juli 2013, Sidang tingkat tinggi Dewan Hak Asasi Manusia (HAM), Maret 2014 dan Sidang Komite HAM tentang hak-hak EKOSOB, April 2014, di Jenewa, Komite dalam melihat permasalahan HAM di Indonesia, memberikan perhatian tersendiri mengenai Papua.
Isu-isu penting itu yang menjadi diskusi menarik dalam Komite HAM PBB tadi. Delegasi Pemerintah Indonesia berupaya menjawab dan memberikan pandangan mengenai kondisi terkini Papua.Tetapi info yang masuk dari kalangan LSM ke Komite, seperti lebih dominan ketimbang dari unsur-unsur diplomasi resmi.
Isu pertama ialah masalah perlindungan terhadap lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup yang menjadi sorotan utama ialah proyek raksasa Merauke Integrate Food Energy Estate (MIFEE) yang mencakup 1,2 juta ha luas tanah. Mengenai proyek ini komunitas internasional tampak lebih banyak menerima informasi dari LSM internasional katimbang institusi pemerintah. Banyak LSM Internasional pemerhati lingkungan beropini bahwa proyek ini lapar tanah ini. LSM pemerhati HAM, seperti Fransiscan Internasional, HRW dan Amnesty Internasional, bahkan mengopinikan ada indikasi intimidasi dan perebutan tanah secara paksa oleh investor yang didukung aparat di lahan MIFEE.
Opini-opini yang terlanjur disebar LSM ini sepertinya belum bisa dimbangi oleh unsur pemerintah terkait. Menurut hemat kami, itu terjadi akibat belum ada informasi yang matang mengenai program MIFEE itu secara terintegrasi. Masing-masing instansi pemerintah juga belum mengetahui dan memahami secara sungguh-sunguh kompleksitas dan realitas dari program MIFEE. Sehingga, mereka tidak mampu menyajikan data, fakta dan informasi seputar program MIFEE secara cepat dan akurat.
Dalam perspektif komunitas internasional, Program MIFEE seluas itu, seolah akan dibangun sekali jadi dengan membuka lahan langsung seluas-luasnya. Ditilik dari sisi perlindungan lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati, kesan itu tentu menakutkan. Apalagi demi keberlanjutan Papua sebagai paru-paru dunia dalam menghadapi fenomena global warming.
Isu MIFEE dan rencana investasi besar lainnya, membawa komunitas internasional peduli pada isu kedua, yaitu perlindungan atas tanah ulayat di Papua. Masyarakat internasional merasa khawatir atas isu perampasan tanah (land grabbing) yang begitu diopinikan oleh LSM internasional dengan frame pelanggaran Hak Asasi Manusia. Bahkan laporan Komnas HAM Indonesia saat ini juga berada dalam frame arus pemikiran itu.
Di mata komunitas internasional, masyarakat asli Papua dipandang sebagai masyarakat yang begitu tergantung pada tanah. Sementara aliran investasi yang diharapkan masuk ke Papua di bidang pertanian, pertambangan mineral dan energi (Migas) yang nota bene lapar tanah, belum diimbangi dengan pembuatan instrumen hukum yang mampu melindungi hak masyarakat asli Papua atas tanah ulayatnya. Tentu yang dikhawatirkan adalah kemungkinan tersingkirnya orang Papua akibat penetrasi modal yang akan begitu masif dalam kerangka program MP3EI.
Isu ketiga yang menjadi perhatian komunitas internasional adalah kebebasan berbicara dan ekspresi. Isu ini seperti bola salju di masyarakat internasional. Baru-baru ini LSM Tapol yang berdomisili di London mengangkat masalah ini. Sayang belum argumentasi dan penjelasan lugas dari instansi pemerintah Kedutaan-kedutaan RI seperti miskin informasi faktual dan terkini mengenai perkembangan masalah ini.
Komunitas Internasional berdasarkan informasi dari kalangan LSM melihat adanya tahanan politik di Papua akibat dari ketiadaan kebebasan berekspresi dan berbicara di Papua. Di samping itu tahanan politik juga dilihat sebagai bentuk dari belum berjalannya fair trial (pengadilan yang bebas). Pada hal saat ini, sejalan dengan demokratisasi dan reformasi sistem politik Indonesia, kebebasan berekspresi dan berbicara melalui lisan dan tulisan mekar di Papua. Demonstrasi mengusung segala macam pendapat, bisa terjadi setiap minggu. Mulai dari referendum, sampai merdeka, dengan mengibarkan bendera. Di sisi lain pengadilan terbuka untuk umum dengan kesaksian dan saksi, yang juga bebas menyampaikan pandangannya.
Isu keempat, yaitu, belum leluasanya jurnalis asing meliput langsung di Papua. Terbatasnya ruang gerak jurnalis media asing ke Papua, menjadi senjata pengkritik Indonesia. Hal itu tampak dari opini para anggota Parlemen Belanda, Inggris dan Selandia Baru. Implikasi minimnya jurnalis asing masuk ke Papua, adalah membubungnya kecurigaan komunitas internasional seolah Indonesia menyembunyikan sesuatu di Papua.
Isu kelima adalah pelanggaran HAM di Papua. Pidato Moana Carcasses Katokai Kalosil mantang Perdana Menteri Republik Vanuatu dihadapan sidang HAM PBB 25:10 persen populasi Papua telah dibunuh oleh tentara Indonesia, 4 Maret 2014. “ Sala satu isi pidato “sejak PEPERA tahun 1969 yang bersifat kontroversial itu, Bangsa Melanesia di Papua telah menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia. Dunia telah menyaksikan litani penyiksaan, pembunuhan, perampasan, perkosaan, penyerbuan militer, penangkapan sewenang-wenang dan perpecahan masyarakat sipil akibat operasi intelijen.
Isu keenam adalah gereja - gereja pasifik terus mendorong penentuan nasip sendiri sebagai solusi bagi rakyat Papua Barat. Forum - forum terbuka isu Papua Barat menjadi isu terpenting setiap tahun. Gereja - gereja melihat "Genosida" menjadi catatan penting untuk memberikan dukungan (Self Determination) Referendum ulang bagi Rakyat Sipil Papua.
Isu ketuju adalah semua Faksi perjuangan Papua akan berkumpul di Vanuatu bulan Oktober 2014. Guna berburu digabungnya anggota tetap menjadi Malanesian Spearheat Group (MSG). Pastinya perjuangan akan tambah seru ditingkat Internasional.
Pihak Jakarta telah melakukan pendekatan melalui sokongan dengan milyaran rupiah kepada empat negara Fasifik namun tidak berhasil. Semua lapisan rakyat sipil di Fasifik mendukung Papua Merdeka kecuali pemimpin - pemimpin negara mereka yang menolak. Akan tetapi keputusan forum MSG di PNG memutuskan bahwa semua faksi perjuangan Papua Merdeka besatu melakukan pengajuan ulang permohonannya.
Negara Republik Vanuatu adalah sala - satu diantara empat negara fasifik yang mendukung penuh sepanjang waktu. Dukungan rakyat sipil Fasifik misalnya Fiji. Dukungan dari Sosial Demokratic Liberal Party (SOLDEPA) telah mengukuhkan manifesto politik luar negeri. Semoga rakyat Papua berhasil di forum MSG yang nanti.
Dari ke-tuju isu diatas yang menjadi catatan penting bagi rakyat sipil Papua adalah kehadiran UP4B dan Otsus Plus hanya untuk menghilangkan isu Papua di tingkat Internasional. Point ke- lima sampai ke- 7 adalah isu hangat selama 2014.
Oleh : Mahgo dan Nevos News.Com
Post a Comment