Oleh : Marinus Gobai
Suatu kelak kami akan menjadi budak di negeri sendiri, tentu telah nampak selama sepuluh tahun berjalan.Terbaca jelas setelah peningkatan tajam utang luar negeri di Indonesia. Orang Papua, Pulau Papua serta segala isi didalamnya menjadi korban dari pada utang luar negeri yang makin menggelora di Jakarta ini. Utang luar negeri pada tahun 2014 tercatat sebagai berikut.
Utang luar negeri (ULN) Indonesia pada Januari 2014 tercatat USD269,3 miliar sehingga tumbuh 7,1% (yoy), meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan Desember 2013 sebesar 4,6% (yoy). Peningkatan pertumbuhan tersebut terutama dipengaruhi oleh kenaikan posisi ULN sektor swasta sebesar 12,2% (yoy) menjadi USD141,4 miliar. Sementara itu, posisi ULN sektor publik tumbuh sebesar 1,9% (yoy) menjadi USD127,9 miliar. Jika dibandingkan dengan posisi bulan sebelumnya, ULN sektor swasta hanya tumbuh 0,6%, sementara ULN sektor publik meningkat 3,5% *.
Untuk mengambil keuntungan bagi para petinggi Jakarta dahulu kala menyusun undang – undang kontra produktif yaitu Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 bunyinya “Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Untuk menjustifikasi keberadaan pasal 33 ini, Jakarta juga melakukan program yang kontra produktif bagi rakyat Papua. Biasanya pemerintah mensahkan Otonomi khusus bagi orang Papua, kemudian menghadirkan Unit Percepatan dan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), pemekaran sangat tidak logis, kemudian Otonomi khusus plus bertambah lagi.
Dari berbagai kasus Papua dan di Jakarta melihat utang luar negeri sangat tidak logis dan program – program dari Jakarta juga tidak pentingkan bagi Papua, banyak koruptor dan pembangunan tidak nyata di Papua. Singkatnya utang luar negeri menguntungkan bagi para petinggi - petinggi Jakarta, merugikan rakyat dan alam yang tak berdosa, merugikan pula ekonomi politik di Wilayah Papua. Karena Pulau Papua menjadi alat tawar menawar bagi Jakarta hanya untuk menguasai alam Papua. Awal utang negara Indonesia dengan Amerika terjadi pada tahun 1967 adalah kapitalisme asing PT.Freeport Indonesia masuk di Papua. Hanya melalui undang – undang 33 ayat 3 tadi, maknanya menjual tanah adat Papua ke pihak asing.
Untuk menjual tanah adat tadi Indonesia membangun bilateral utang luar negeri dengan para pemilik modal, namun para pemangku kepentingan di Provinsi Papua dan Papua Barat sangat loyal pada pemerintah Jakarta. Apapun yang Jakarta mau pemimpin – pemimpin Papua dibebaskan masuk di tanah Papua. Akibat meningkatnya utang luar negeri alam – alam dikeruk habis oleh pihak asing misalnya pada zaman otonomi khusus kehadiran perusahan BIPI, perusahan kelapa sawit, MIFEE maupun perusahan asing lainnya.
Soalnya adalah utang – utang luar negeri ini berdayakan kepada siapa?. Kemiskinan makin merajalela, gizi buruk, pendidikan buruk, kesehatan buruk, dan banyak persoalan. Ada dugaan juga bahwa kehadiran perusahan – perusahan ini hanya karena Jakarta tak mampu melunasi utang luar negeri. Dengan hasil – hasil pajak nanti masuk dipergunakan untuk menutupi utang luar negeri, maka lebih banyak perusahan swasta masuk di Papua.
Untuk keruk alam lain, izin masuk kelompok illegalloging untuk pembabatan hutang tropis Papua dan Kalimantan. Namun pihak berwajib tak menangkap kelompok tersebut. Perlu adanya pemimpin yang berani, kuat untuk mengatasi masalah – masalah serius yang terjadi melalui tangan Jakarta kepada pihak asing ini.
Pasal 33 ayat 3 sangat merugikan bagi rakyat Papua, karena pasal ini meloloskan bagi kepentingan elit – elit di Jakarta. Akibatnya adalaha utang luar negeri ancaman besar bagi tanah – tanah yang kosong di Papua sekalipun undang – undang tanah adat sudah diamandemenkan di Jakarta.
Post a Comment